Ujian
nasional (UN) tetap digunakan untuk pemetaan, dasar seleksi masuk jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan mutu, dan pembinaan. Dengan tidak
lagi menjadikan UN sebagai penentu kelulusan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, proses pembelajaran diharapkan dapat
membentuk perilaku yang lebih positif.
“Tapi
tetap harus ada pengawasan,” kata Mendikbud saat bertemu dengan redaksi surat
kabar Kompas, di kantor Kompas Gramedia Jakarta, Jumat (16/01/2015). Untuk
pemetaan, Menteri Anies menjelaskan, dalam hasil UN akan terlihat jelas
komponen-komponen penilaian. Setiap siswa yang menerima hasil ujian akan
mengetahui capaiannya di antara siswa lainnya, maupun posisinya di rerata
sekolah dan nasional. Dan nilai yang diperoleh siswa juga memiliki penjelasan
kualitatif.
“Setiap
orang tua yang terima nilai anaknya 6, dia bisa tahu 6 itu apa. Atau jika nilainya
7, baik, artinya dia bisa mengerjakan masalah dan mampu menjelaskan fisika
dalam kehidupan sehari-hari,” katanya. Mendikbud mengatakan, skala penilaian
selain berupa angka juga keterangan yang dibagi atas empat tingkatan yaitu
sangat baik, baik, cukup, kurang. Pengukuran nilai ini, kata dia, punya
konsekuensi pada parameter.
UN,
lanjutnya, adalah assessment yang dilakukan oleh negara yang tujuannya untuk
meningkatkan proses belajar. Bukan untuk menentukan nasib siswa. Dan bagi guru,
kata Mendikbud, mereka punya bayangan anaknya bisa menguasai apa.
Mendikbud
mengatakan, kualitas UN akan terus ditingkatkan. Karena ke depan UN mulai
dipakai sebagai tolok ukur anak-anak Indonesia yang mendaftar ke sekolah di
luar negeri. Jumlah siswa Indonesia mencapai sepuluh persen dari siswa dunia.
Sebagai negara yang masuk dalam empat negara dengan penduduk terbanyak,
seharusnya standar Indonesia bisa dipakai sebagai tolok ukur internasional.
“Mereka
sudah mengakui (UN) ini sebagai alat ukur kita. Kalau kita bisa improve terus,
internasional bisa mengakui tolok ukur standar kita,” tuturnya. (Aline
Rogeleonick - Kemdikbud)